Menggugah perhatian pada ketimpangan akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan yang masih menjadi masalah serius.

Hak dasar yang katanya milik semua anak, tapi nyatanya hanya untuk mereka yang kebetulan lahir di tempat yang “tepat.” Sementara anak-anak di kota belajar dengan komputer canggih dan guru yang profesional, anak desa? Mereka mungkin belajar di sekolah yang atapnya bocor atau bahkan tidak ada sama sekali.

Anak Kota, Anak Desa: Siapa yang Lebih Penting?

Seolah-olah, sistem kita sedang berkata, “Hei, anak desa, kalian cukup belajar secukupnya saja, ya. Dunia ini milik anak kota.” Fasilitas sekolah modern, laboratorium lengkap, dan internet cepat? Itu barang mewah yang hanya ada di kota. Sedangkan di desa, buku pelajaran saja mungkin sudah dianggap harta karun.

Tidak heran, anak-anak desa jarang yang bermimpi menjadi dokter, insinyur, atau bahkan ilmuwan. Bagaimana bisa bermimpi tinggi kalau setiap hari harus berjalan berjam-jam hanya untuk sampai ke sekolah yang hampir roboh?

Mengapa Harus Peduli?

“Ah, biarkan saja. Tidak semua orang harus sukses, kan?” Mungkin itu yang ada di pikiran mereka yang nyaman di balik meja pemerintah. Tapi hei, bukankah kita suka bilang kalau anak adalah masa depan bangsa? Kalau begitu, bagaimana dengan masa depan anak desa? Atau apakah masa depan hanya dimiliki oleh mereka yang tinggal di kota?

Ketimpangan ini bukan hanya masalah pendidikan. Ini adalah masalah keadilan. Anak desa tidak pernah meminta untuk dilahirkan di tempat terpencil. Jadi mengapa mereka harus membayar harga yang begitu mahal hanya karena lokasi geografis?

Solusi atau Sekadar Janji Manis?

Tentu saja, selalu ada wacana besar tentang memperbaiki pendidikan di desa. Tapi sering kali, solusi yang diberikan hanya setengah hati. Berikut adalah “solusi” yang sering terdengar:

  1. Bangun Sekolah Baru
    Tapi tunggu, apakah bangunan saja cukup? Tanpa guru berkualitas, teknologi, dan sumber daya, itu hanya sekadar hiasan.
  2. Kirim Guru ke Desa
    Ya, guru dikirim, tapi berapa lama mereka bertahan? Tanpa insentif yang memadai, jangan heran kalau guru lebih memilih kembali ke kota.
  3. Gunakan Teknologi Digital
    Ah, ide cemerlang! Tapi apakah anak desa punya perangkat atau sinyal internet yang layak untuk mengikuti kelas daring?
  4. Berikan Beasiswa
    Beasiswa? Bagus, tapi bagaimana anak desa bisa bersaing jika kualitas pendidikannya sejak awal sudah tidak sebanding?

Baca Juga:Kenapa Anak Desa Tidak Perlu Sekolah Tinggi?

Ketimpangan pendidikan ini adalah kenyataan pahit yang sudah terlalu lama kita abaikan. Mungkin saja, kita sebenarnya tidak peduli. Toh, selama anak kota tetap maju, siapa peduli dengan mimpi anak desa? Jadi, mari lanjutkan gaya hidup kita yang nyaman dan pura-pura tidak tahu. Toh, anak desa tidak akan pernah mengeluh terlalu keras. Mereka terlalu sibuk berjuang untuk hal-hal yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.

Author: admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *